Keuangan Daerah

Oleh Dr. Liza Laila Nurwulan, S.E., M.Si., Ak.

KURANG baiknya laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) dilihat dari hasil pemeriksaan, bisa menjadi indikasi kurang kredibelnya pengelolaan keuangan daerah. Untuk tahun 2007 saja, dari 24 LKPD kabupaten/kota yang diperiksa BPK, tujuh di antaranya mendapat opini disclaimer. Selebihnya, 16 kab./kota yang lain mendapat opini wajar dengan pengecualian. Opini yang sama, wajar dengan pengecualian juga diberikan BPK bagi LKPD Provinsi Jawa Barat. Satu-satunya LKPD yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian hanya LKPD Kota Banjar. Fenomena ini cukup menarik, karena bila dilihat dari asumsi sudut padang kedewasaan atau katakanlah pengalaman membuat laporan keuangan, 23 kab./kota di Jawa Barat relatif lebih berpengalaman dibandingkan dengan Pemkot Banjar sebagai kota baru hasil pemekaran. Di sisi lain mungkin saja ada faktor lain yang mendukung itu, misalnya wilayah pemerintahan yang lebih ramping (hanya 5 kecamatan) serta komitmen seluruh SKPD di Kota Banjar yang mendukung pencapaian good clean government, dan sebagainya. Pemberian opini disclaimer oleh BPK, dalam hal ini dapat dilihat sebagai tindakan penyusunan LKPD yang belum melalui prosedur akuntansi serta tidak memiliki kebijakan akuntansi dalam menyusun laporan keuangan. Opini wajar tanpa pengecualian yang diberikan pada LPKP Kota Banjar, semata-mata karena LKPD yang dilaporkan dinilai memenuhi semua kriteria pemeriksaan mengenai kesesuaian, kecukupan pengungkapan, efektivitas sistem pengendalian intern dan ketaatan pada peraturan perundang-undangan.

Persoalan semacam itu menunjukkan adanya ketidakcocokkan atau gap yang cukup jauh antara apa yang selama ini diasumsikan dengan apa terjadi. Belum lagi jika mempertimbangkan, kalau selama ini apa yang dibuat pemerintah kabupaten/kota di Jabar digunakan sebagai parameter pembanding oleh banyak kabupaten/kota lain di luar Jabar. Penilaian masyarakat umum selama ini, bahwa apa yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota di Jabar sudah jauh well educated. Bagaimana tidak, Jabar adalah salah satu provinsi dengan perguruan tinggi terbanyak di Indonesia. Hampir setiap perguruan tinggi di Jabar memiliki jurusan/program studi akuntansi. Kita juga punya cukup banyak akuntan yang logikanya setiap waktu bisa diminta saran ataupun pendapatnya ketika membuat LKPD yang baik, sehingga sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) maupun Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Masalah standar, sistem, maupun pedoman terkait akuntansi pemerintahan sudah disediakan pemerintahan, di mana di dalamnya ada sejumlah aturan (kriteria/prosedur) yang harus diperhatikan sebagai rambu-rambu dalam menyusun LKPD yang benar dan sesuai dengan yang apa diinginkan. Apalagi jika hal tersebut didukung oleh semangat good willingness dari semua elemen terkait pengelolaan keuangan daerah, maka spirit menghadirkan LKPD sesuai dengan standar tentulah bukan persoalan yang rumit.

Dalam konsep auditing, opini disclaimer dari auditor atas laporan keuangan teraudit bukan merupakan satu-satunya opini buruk karena auditor “hanya” tidak memberikan pendapat atau penilaian (no opinion) atas objek yang diauditnya. Opini terburuk adalah adverse opinion (pendapat tidak wajar) jika auditor percaya bahwa secara material keseluruhan laporan keuangan telah disajikan secara tidak wajar karena tidak menyajikan posisi keuangan atau hasil usaha dan arus kas yang wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Adapun kondisi yang melatarbelakangi terbitnya opini disclaimer adalah jika auditor tidak dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa laporan keuangan yang diauditnya telah disajikan secara wajar. Masalah tersebut dapat disebabkan antara lain karena adanya pembatasan ruang lingkup audit, atau terdapat hubungan yang tidak independen antara auditor dengan kliennya, atau terdapat masalah mengenai kelangsungan hidup entitas.

Apresiasi positif jelas patut diberikan kepada Pemerintah Kota Banjar yang telah berupaya membuat LKPD dengan baik. Prestasi ini bisa menjadi motivasi sekaligus sebagai barometer bagi pemerintah kabupaten/kota lain di Jawa Barat. Apa keunggulan yang dimiliki Kota Banjar? Informasi yang penulis dapatkan bahwa berdasarkan temuan auditor BPK, ditemukan fakta-fakta positif dalam pengelolaan keuangan di Kota Banjar. Fakta-fakta tersebut di antaranya dalam hal pengelolaan dan inventarisasi aset (kekayaan) pemkot pada masing-masing SKPD telah sedemikian lengkap dan rapi disertai dengan informasi pendukung yang rinci. Misalnya, dalam inventarisasi aktiva kendaraan yang dicatat secara rinci dan dapat ditelusuri sampai pada dokumen-dokumen pendukung dan sesuai bukti fisik. Pemerintah Kota Banjar menggunakan sistem akuntansi secara terkomputerisasi dalam perangkat software SIMDA, yang meskipun belum tersambung secara online kepada seluruh SKPD, akan tetapi untuk mengatasi hal itu secara berkala selalu dilakukan konsolidasi. Sudah pasti bukan hanya itu fakta-fakta positif yang mendukung BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian pada LKPD Pemkot Banjar.

Dalam perkembangannya, era reformasi dan otonomi daerah telah ikut memengaruhi perubahan paradigma pengelolaan maupun pelaporan keuangan daerah secara signifikan. Pemerintah daerah sekarang mendapat amanat untuk mengelola dana publik dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dalam berbagai bidang atau urusan. Sebelum masa otonomi, aturan pemerintah daerah membuat laporan keuangan tidak seketat sekarang. Pengelolaan keuangan daerah saat ini tidak saja harus mengalokasikan dana publik bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat daerah, tetapi juga harus mengelola dana publik tersebut sesuai dengan UU dan aturan yang dikeluarkan pemerintah pusat. Kepatuhan terhadap UU dan aturan dalam pengelolaan keuangan daerah diperiksa institusi pemeriksa internal daerah (Bawasda) maupun pemeriksa eksternal (BPK).

Memenuhi kewajiban untuk patuh terhadap aturan terkait pengelolaan keuangan daerah yang begitu banyak, dalam pelaksanaannya tidak mudah. Padahal, pemerintah daerah juga dituntut untuk transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab. Konsekuensi dari keterbukaan adalah teraksesnya semua prosedur dan realisasi penggunaan keuangan pemerintah daerah tidak hanya oleh instansi pemeriksa, namun juga seluruh elemen masyarakat. Ketidakpatuhan terhadap prosedur yang diatur UU dan peraturan pemerintah lainnya, bukan tidak mungkin akan menimbulkan konsekuensi hukum sebagaimana terlihat dari berbagai kasus hukum yang menindaklanjuti laporan BPK.

Pemerintah daerah diharapkan dapat mengelola dana publik secara efektif, efisien, ekonomis, dan juga patuh terhadap semua aturan serta mampu mempertanggungjawabkan pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah secara tepat waktu dan akuntabel. Untuk menyikapi masih minimnya kualitas pengelolaan maupun pelaporan keuangan daerah, diperlukan penguatan/penajaman beberapa hal: (1) penambahan kuantitas dan perbaikan kualitas SDM yang mengelola keuangan daerah; dan (2) sinkronisasi tujuan akhir dari masing-masing aturan terkait keuangan daerah, harus dapat bersinergi antara satu aturan dengan aturan yang lainnya.***

Penulis, Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan.

Penulis:

Back

 

© 2007 – Pikiran Rakyat Bandung